Sekumpulan manusia menghuni suatu lahan sewajarnya didasari oleh suatu kepentingan yang serupa. Di situ pula mereka akan mengalami pola saling ketergantungan terhadap lokasi dimana mereka menginjakkan kaki.
Pak Ijuk korban relokasi pasar ikan, kini berprofesi sebagai penjual pot hias di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia tiap pagi menemani dua anaknya sarapan bubur sewaktu subuh sebelum mereka berangkat sekolah. Di dekat kiosnya terdapat warung bubur ayam dari tenda milik mbak Lidi.
Karena takut telat, Abun & Ampo, anak pak Ijuk berangkat sekolah diantar oleh bang Tong seorang tukang becak, saudara mbak Lidi yang bertugas mengembalikan perkakas jualan bubur dan menggantinya dengan perkakas jualan nasi pecel di rumah tinggal mereka. Omah kontrakan setengah gedhek (bilik bambu) milik mbak Lidi berjarak 5 kilometer dari warungnya, dan hanya beberapa blok bangunan dari SD impres Abun & Ampo. Tak lupa bang Tong sekembalinya dari rumah harus mampir mengambil sayur mayur di pasar dan membawanya ke warung tenda mbak Lidi. Jika tidak ada orang yang memanggilnya minta diantar, biasanya bang Tong mangkal di dekat kios pak Ijuk, karena para pembeli pot sering meminta tolongnya mengantar pulang.
Siangnya Abun & Ampo pulang dengan berjalan kaki menuju kios pot hias yang sekaligus adalah rumah mereka. Mereka terbiasa tidak makan siang ,namun hanya minta es teh di warung pecel mbak Lidi. Bila warung tersebut terlihat ramai pengunjung, biasanya Abun & Ampo turut membantu mbak lidi menyuci piring atau mengantar pesanan ke pembeli yang sudah menunggu. Biasanya mbak Lidi memberi mereka sedikit uang jajan setelah mereka selesai membantu.
Mbak Lidi orangnya memang baik, Abun dan Ampo sering mendapat nasihat darinya untuk giat bersekolah supaya bisa membangun kota kelak. Setiap pagi setelah sarapan atau setelah pulang sekolah Abun dan Ampo diminta mengambil dan menata pot-pot hias ayahnya untuk dipamerkan di dekat warung tenda, supaya ketika ramai pengunjung ada kemungkinan pot itu bisa laku atau malah mengarahkan pengunjung untuk pergi melihat kios milik pak Ijuk. Demikian pula Pak Ijuk selalu mempromosikan warung pecel mbak Lidi yang lokasinya di ujung dari deretan kios yang dipakainya berdagang.
Hubungan harmonis yang terjalin beberapa tahun lamanya suatu hari terguncang adanya isu normalisasi jalan. Normalisasi artinya mengembalikan fungsi-fungsi ruang sesuai 'rencana' yang sudah ditetapkan. Menjadi menyeramkan apabila pengertian tersebut merujuk pada aplikasinya, yaitu berupa 'penggusuran'.
Normal yang bagaimana??
Mbak Lidi normalnya, sehari berjualan dua kali untuk memenuhi kebutuhan bayar kontrak dan makan. Normalnya bang Tong bisa mendapat pengguna jasa becaknya dari pengujung Kios Pot pak Ijuk. Normalnya juga Abun & Ampo bisa diantar becak bang Tong ke sekolah tiap pagi supaya tidak terlambat.
Tetapi, 'normal' menurut yang punya rencana sering bertolak belakang dengan pandangan normal pihak pelaku/pengguna area terencana.Pandangan 'normal' pihak mana yang akan bertahan atau terealisasikan pada akhirnya menjadi sebuah kompetisi untuk dapat melakukan sebuah klaim terhadap suatu teritori.
Pak Ijuk korban relokasi pasar ikan, kini berprofesi sebagai penjual pot hias di sebuah kios kecil di pinggir jalan. Ia tiap pagi menemani dua anaknya sarapan bubur sewaktu subuh sebelum mereka berangkat sekolah. Di dekat kiosnya terdapat warung bubur ayam dari tenda milik mbak Lidi.
Karena takut telat, Abun & Ampo, anak pak Ijuk berangkat sekolah diantar oleh bang Tong seorang tukang becak, saudara mbak Lidi yang bertugas mengembalikan perkakas jualan bubur dan menggantinya dengan perkakas jualan nasi pecel di rumah tinggal mereka. Omah kontrakan setengah gedhek (bilik bambu) milik mbak Lidi berjarak 5 kilometer dari warungnya, dan hanya beberapa blok bangunan dari SD impres Abun & Ampo. Tak lupa bang Tong sekembalinya dari rumah harus mampir mengambil sayur mayur di pasar dan membawanya ke warung tenda mbak Lidi. Jika tidak ada orang yang memanggilnya minta diantar, biasanya bang Tong mangkal di dekat kios pak Ijuk, karena para pembeli pot sering meminta tolongnya mengantar pulang.
Siangnya Abun & Ampo pulang dengan berjalan kaki menuju kios pot hias yang sekaligus adalah rumah mereka. Mereka terbiasa tidak makan siang ,namun hanya minta es teh di warung pecel mbak Lidi. Bila warung tersebut terlihat ramai pengunjung, biasanya Abun & Ampo turut membantu mbak lidi menyuci piring atau mengantar pesanan ke pembeli yang sudah menunggu. Biasanya mbak Lidi memberi mereka sedikit uang jajan setelah mereka selesai membantu.
Mbak Lidi orangnya memang baik, Abun dan Ampo sering mendapat nasihat darinya untuk giat bersekolah supaya bisa membangun kota kelak. Setiap pagi setelah sarapan atau setelah pulang sekolah Abun dan Ampo diminta mengambil dan menata pot-pot hias ayahnya untuk dipamerkan di dekat warung tenda, supaya ketika ramai pengunjung ada kemungkinan pot itu bisa laku atau malah mengarahkan pengunjung untuk pergi melihat kios milik pak Ijuk. Demikian pula Pak Ijuk selalu mempromosikan warung pecel mbak Lidi yang lokasinya di ujung dari deretan kios yang dipakainya berdagang.
Hubungan harmonis yang terjalin beberapa tahun lamanya suatu hari terguncang adanya isu normalisasi jalan. Normalisasi artinya mengembalikan fungsi-fungsi ruang sesuai 'rencana' yang sudah ditetapkan. Menjadi menyeramkan apabila pengertian tersebut merujuk pada aplikasinya, yaitu berupa 'penggusuran'.
Normal yang bagaimana??
Mbak Lidi normalnya, sehari berjualan dua kali untuk memenuhi kebutuhan bayar kontrak dan makan. Normalnya bang Tong bisa mendapat pengguna jasa becaknya dari pengujung Kios Pot pak Ijuk. Normalnya juga Abun & Ampo bisa diantar becak bang Tong ke sekolah tiap pagi supaya tidak terlambat.
Tetapi, 'normal' menurut yang punya rencana sering bertolak belakang dengan pandangan normal pihak pelaku/pengguna area terencana.Pandangan 'normal' pihak mana yang akan bertahan atau terealisasikan pada akhirnya menjadi sebuah kompetisi untuk dapat melakukan sebuah klaim terhadap suatu teritori.
.: tergelitik oleh lirik lagu "Iwan Fals":.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar