17/03/11

Mengendus Tembakau - Parakan


Sekilas perjalanan di sebuah kota kecamatan tak jauh daru Temanggung Jawa Tengah bernama Parakan. Kota yang tak terlalu besar, namun mampu menggugah romantika historia melalui artefak ruang-ruang huninya yang 'separuh' lestari hingga kini. Ruas jalan yang tak lebar, tapi juga tak ramai dilalui roda bermesin, memberi kesempatan kami berjalan kaki sambil melempar pandang ke kanan-kiri-depan-belakang tanpa takut tersambar bahaya.

Lazimnya kawasan pecinan yang banyak ditemui pada kota-kota di Jawa, bangunan  di kanan-kiri jalan cenderung enggan menyapa pedestrian yang sudi melenggang di sepanjang bahu jalan. Begitu tinggi pagar didirikan, begitu masif menyembunyikan apa gerangan yang ada di baliknya membuat pikiran-pikiran spekulatif cenderung muncul. Mungkin sebuah ungkapan taruhan yang klasik dari seorang pemeras “harta atau nyawa ?” dapat memberikan analogi tentang 2 hal yang menjawab pertanyaan mengapa dibuat demikian selain sekedar tampilan semata. Ya, artefak memang bisu, namun kehadirannya tetap menyimpan catatan sejarah dan mampu berbahasa tanpa berkata.

Kembali berjalan kaki, kami temukan hal-hal menarik. Banyak bangunan yang wujudnya bertransformasi dengan mengalami penambahan baik secara harmonis maupun ada pula yang sungguh kontras. Kadang kontras, berbeda itu baik, memberikan pencerahan sekaligus menunjukkan nilai dan karakter yang lain. Celakanya sikap pragmatis dalam desain membuahkan nilai ‘liyan’ yang mendadak ahistoris, bahkan cenderung  exhibitionist alias ‘caper’. Demikian bangunan itu bak band musik alay yang naik panggung pagelaran musik jazz dimana berkesan labil nan kompetitif, menonjol diantara sekekelilingnya yang anggun namun renta.

Opini latah saya diatas membuat saya jadi berpikir ulang, “apakah  image dan pelestarian keduanya merupakan hal yang signifikan? Atau mana yang lebih signifikan?

Mencoba menelaah perlahan dalam benak…

Image merupakan hal abstrak berupa takaran nilai prestigious (gengsi) yang dihasilkan dari konstruksi cepat  hasil terjemahan karakter yang dihitung dari wujud fisik. Sedangkan pelestarian merupakan proses yang dibangun untuk mempertahankan nilai fungsi yang integral melalui wujud fisik hingga nilai normatif yang terarah wajar (sebagaimana mestinya/yang ada pada awalnya).

Jika signifikan dipandang dalam urgensi waktu, image boleh dinyatakan tak peduli sebab pencapaian hal yang bersifat prestigious setiap saat dapat berubah takarannya. Bayangkan mobil dengan cap rusa langsing Taman Safari dulu sudah keren, sekarang kalau mau keren harus pakai mobil cap kuda jingkrak Italy -- biarpun dibeli dari celengan negara. Namun berbeda dengan pelestarian yang mengedepankan nilai keutuhan fungsi yang hanya dicapai berdasarkan referensi kondisi yang telah ada sebelumnya. Seperti sewajarnya seekor rusa sungguhan yang berkembang-biak untuk menghasilkan spesies yang lebih baik dari sebelumnya pun tak akan melahirkan bayi dengan spesies kuda. Mungkin masih wajar bila mobil cap rusa langsing Taman Safari kini membiak dan berevolusi menjadi mobil cap rusa montok Taman Safari, asal bukan menjadi spesies lain genetik yang langsung jingkrak-jingkrak. 
Jadi, mana yang lebih signifikan antara pelestarian dibanding image dalam urusan waktu yah…??

Tunggu! Bukankah ada dimensi lain yang menggelitik bila ditimbang ulang. Jika image erat kaitannya dengan harga diri dan pelestarian identik dengan upaya mempertahankan, dalam urusan biaya mana yang menjadi lebih signifikan? Mengapa begitu langka bangunan cagar budaya kita yang benar-benar lestari sehingga layak kita banggakan?

Secara logika bila ditakar dengan nilai mata uang seharusnya urusan harga diri akan berurusan dengan angka berlipat digit ketimbang nilai tukar untuk suatu kepentingan (dasar) bertahan. Bila demikian urusannya image tidak lagi sesignifikan pelestarian. Namun mengapa kenyataannya pekerjaan pelestarian bangunan kerap menjadi berlipat lebih mahal dibanding perombakan image bangunan sehingga orang lebih memilih membangun image baru daripada melestarikan yang sudah ada?

Ah, sepertinya perlu sejenak menepi pada bangunan rumah tua yang atapnya menjorok ke jalan. Sembari mengamati raut fasad rumah yang peil lantai terasnya lebih tinggi 1 meter dari jalan, sambil mengatur kebingungan. Perlahan secara naluriah kami asik duduk berjejer di undakan teras. Sepertinya saya tersadar akan nilai-nilai kearifan yang sederhana seperti atap teras yang teduh, tektonika balok-balok kayu yang terangkai harmonis, pintu rumah berskala gigantis yang sekaligus berperan sebagai jendela, warna kusen kayu yang natural apa adanya, dst… Apa jadinya bila itu semua di make-up berlebih, mungkin justru  akan mirip dengan artis sinetron yang menor dan nilainya menjadi minor.  Mungkin inilah yang saya yakini dimana parameter sewajarnya justru memiliki nilai yang tinggi dibanding apa yang dibuat-buat berlebih.

Sejenak usai beristirahat kami pun kembali berjalan kaki memasuki rumah milik seorang biksu Budha yang biasa digunakan juga sebagai rumah singgah dan pertemuan para biksu. Begitu banyak detail elemen bangunan yang masih asli dan ada pula yang sudah diganti namun tetap merujuk pada bentuk aslinya yang estetik. Rumah ini memiliki konfigurasi denah yang unik dimana tata letak ruangnya di sisi kiri dan kanan saling tercermin. Kesan eksotik juga muncul tak hanya dari ornamen yang menghiasi setiap elemen rumah ini, namun pada sisi dinding tertentu ada yang penuh rambati lumut hijau dan ada pula yang tampak hanya tersusun dari tumpukan adobe.

Perjalanan berikutnya kami pun mengunjungi gudang pengepul tembakau pada rumah terpilih yang lain. Demikian pekat aroma tembakau menyelundup masuk dalam hidung kami sehingga ada tim kami pun yang merasa pusing menghampiri tumpukan tembakau yang mulai dibungkus dengan kulit-kulit jagung. Ada beragam varian tembakau yang telah disuplai dari pertanian tembakau di Temanggung. Helaian-helaian tembakau tersebut diproses melalui beberapa tahap mulai dari penyimpanan, penggodokan, pengeringan, penyeleksian hingga pengepakan kembali untuk dikirim pada perusahaan–perusahaan rokok.

Sebenarnya kami kembali bertanya nilai prestigious apa yang terkandung dalam setiap helaian tanaman bernikotin penyebab kanker, gangguan kehamilan dan janin tersebut? Dan apa yang membuatnya tetap lestari dari masa ke masa?

Jika candu jawabnya, bagaimanakah cara mencandukan nilai-nilai kearifan cagar budaya kita?

07/03/11

Leburnya Sakral - Profan


Ruang spiritual tercipta sedemikian intim (hanya antara manusia dengan Tuhannya). Ritual sembahyang pada pelataran klenteng Dewi Samudra - Rembang, menunjukkan adanya fenomena paradoks terhadap perwujudan tatanan pelingkup ruang binaan yang mewadahi fungsi aktivitas yang bersifat intim. Keintiman yang transendental sekaligus sakral bukannya disembunyikan dari hal yang duniawi, tetapi justru dibiarkan tak terikat oleh selubung ataupun sekat-sekat ruang-ragawi sakral-profan yang kaku, sehingga di situlah tercipta citra ruang intim yang sedemikian menyatu dengan keilahian alam raya. 



22/02/11

dibalik hening Rawa Pening



Danau Rawa Pening merupakan satu-satunya aset panorama yang terletak diantara jalur padat kota Salatiga-Semarang-Ambarawa. Suatu suguhan keindahan alam manakala hamparan air membentang diantara barisan bukit dan pegunungan.
Keindahan alam tercipta sedemikian rupa, dan manusia dapat menikmatinya…

Orang desa (berlatar belakang pemikiran tradisional) menggantungkan hidupnya untuk bermatapencaharian di dalamnya…. Sedang orang kota yang tak berkaitan pola hidupnya dengan saujana alam tersebut cukup sesekali datang untuk mendapatkan sensasi bagi inderanya atau dapat pula untuk sekedar mendapat pengalaman “desa-desa’an”.

Memang desa-kota saat ini bukanlah suatu dikotomi kehidupan yang seolah-olah masih terpisah antara jarak dan waktu… Sudah hal yang lumrah pencari ikan di Rawa Pening mengankat telepon genggam ketika sedang asik melemparkan kail pancingnya menuju tengah rawa. Hal yang bernilai artistik pula ketika ada sebuah tas jinjing terbuat dari anyaman tanaman enceng gondok yang sudah dikeringkan dapat dikenakan seorang ibu ketika berbelanja di pusat keramaian kota. Komoditas barang fabrikasi telah masuk dalam kultur desa sehingga turut dapat memberikan suatu akselerasi peradaban, demikian pula barang kerajinan tangan yang menembus trend pasar di kota pun turut berperan meredam gaya hidup utopis yang sulit dicari akar budayanya.


21/02/11

Gelora Garuda — terbang melayang... di ruang mengambang


Tanah air kita luas, Bumi kita hijau...
Ribuan anak bermain bola di setiap celah ruang kampungnya...
Kaki-kaki kecil, hanyalah kaki yang bersemangat…
Bermain dimana mereka dapatkan ruang atas haknya,
Bagaimana dengan ketangguhan mereka, siapa peduli?

Akhir tahun 2010 nasionalisme Indonesia terombang-ambing dalam haru-pilu-kesal-malu-. . .-lupa.
Haru tercipta dari kembalinya semangat perjuangan Tim Nas “Garuda” yang mati-matian hadapi pertarungan melawan kesebelasan  Negara-negara ASEAN hingga Final.
Pilu merenggut keyakinan untuk dapat meraih juara. Pilu juga ketika kita menyaksikan ribuan penonton yang berbaris tersengat terik matahari, guyuran hujan, tertipu para makelar alias calo dalam rangka mendapatkan tiket masuk stadion.
Kesal yang pertama adalah masalah ‘ruang’. Mengapa stadion yang jelas-jelas dibangun atas cita-cita kebesaran nama bangsa, meski kini telah menjadi tua umurnya seakan-akan telah dicuri jiwanya oleh sang ’orang tua tiri’ yakni politisi yang hidup sebagai parasit dalam kepengurusan PSSI? Kini hanyalah artefak “Gelora Bung Karno” simbol kemegahan bangsa yang kini bergeming, tak berdaya ketika norma-etika-moral terciderai manakala rakyat sendiri demi mendukung wakil bangsanya bertanding harus membayar tarif tiket jauh diatas rata-rata masih ditambah proses seleksi fisik (alias mengantri berdiri). Inikah zaman baru Indonesia yang sedang bersiap-siap menjadi tuan rumah piala dunia? Zaman global dan maya yang dapat meminimalisir pertemuan ruang fisik seakan terabaikan entah kenapa. Ribuan rakyat yang seharusnya dapat membeli tiket cukup melalui internet seakan-akan dipaksa bertartaruh fisik hingga 24jam, beradu himpit sepanjang ribuan meter untuk ditukar dengan tontonan pertandingan 2x45’.
Kesal yang lain adalah masalah ‘momentum’. Bagaimana pun politik selalu mengincar momentum tanpa sadar akan masalah utama yang menjadi kepentingan khalayak. Disiplin Tim Nas seakan tergelincir dalam jebakan duniawi dan akhirat. Promosi politik kaum hedonis yang dimatanya adalah harta, tahta, wanita, dan suatu yang ketara berupa lumpur yang kian merata... telah memanfaatkan momentum unggulnya Tim Nas dengan melakukan jamuan hura-hura. Kaum berkedok religius pun rupanya menawarkan ‘partisipasi’ sentuhan kuasa akhiratnya demi menuntun Tim Nas pada kemenangan. Inikah rumus yang masuk akal: {hura-hura + doa = Juara} 
Malu sepertinya dapat kita pahami sebagai unsur penting yang seharusnya berfungsi memandu Tim Nas kita pada kondisi yang lebih bermartabat. Seperti kita malu jika ada penonton Indonesia yang nakal bermain laser hijau. Tentu hal ini tak akan berbeda nilainya dengan Negara tetangga,yang telah dianggap mencederai sportivitas bermain. Namun, rasa malu itu dapat menuntun penonton Indonesia untuk dapat berlaku sportif meski tim jagoannya tidak juara. Demikian pula halnya pada sportivitas para politikus hedonis yang sepertinya berusaha mencuri start kampanye, mereka telah mencuri ruang liminalitas milik khalayak sebagai momentum yang tepat untuk mengangkat pamornya dimata publik. Benar salahnya tak perlu kita khawatirkan karena rakyat kita telah cerdas dalam menilai. Namun, masalahnya akibat nihilnya rasa ‘malu’ dalam diri para pejabat tersebut berdampak pada ternodanya sejarah prestasi Tim Nas yang semestinya sudah dirombak prestasinya setelah sekian lama pudar.
Lupa menjadi kebiasaan seperti urusan politik yang cepat memanas cepat pula terlupakan di negri ini. Begitu pula demam nasioalisme Garuda seakan-akan menjadi topik panas yang menggeser topik panas lain seperti regionalisme DIY yang dibingungkan atas nilai demokrasi yang seketika pula berbenturan dengan sejarah dan nilai, ruang, tata budaya didalamnya. Hal ini tentu mirip juga dengan lupanya PSSI akan suatu pembinaan prestasi yang harus kembali diawali sejak pendidikan usia dini, terlanjur diproses secara instan melalui program naturalisasi, dimana sosok yang dijadikan ujung tombak prestasi tersebut menjadi idola dan tumpuan semangat tim Garuda.

Sepatutnya kita bayangkan bila masa perjuangan kemerdekaan Indonesia hanya kita tumpukan pada seorang Naturalisasi, kemerdekaan macam apa yang sesungguhnya kita peroleh dan banggakan hingga kini?
Kicauan garuda dalam sesi pertempuran AFF Cup telah memberikan kontemplasi yang mendalam akan masalah komitmen dan perjuangan untuk menjadi bangsa yang besar. Setiap peran memiliki kontribusi yang mau tak mau mempengaruhi hasil dari harapan bersama. Dari sini kita pun belajar memaknai ‘batas-batas ruang’, yakni  antara hak dan tanggungjawab pada ruang individu demikian pula hak dan tanggung jawab pada ruang publik.




life dimension

Foto saya
distillation space for re-thinking about rural-urban living way.
こうこく ○. Diberdayakan oleh Blogger.