Tanah air kita luas, Bumi kita hijau...
Ribuan anak bermain bola di setiap celah ruang kampungnya...
Kaki-kaki kecil, hanyalah kaki yang bersemangat…
Bermain dimana mereka dapatkan ruang atas haknya,
Bagaimana dengan ketangguhan mereka, siapa peduli?
Akhir tahun 2010 nasionalisme Indonesia terombang-ambing dalam haru-pilu-kesal-malu-. . .-lupa.
Haru tercipta dari kembalinya semangat perjuangan Tim Nas “Garuda” yang mati-matian hadapi pertarungan melawan kesebelasan Negara-negara ASEAN hingga Final.
Pilu merenggut keyakinan untuk dapat meraih juara. Pilu juga ketika kita menyaksikan ribuan penonton yang berbaris tersengat terik matahari, guyuran hujan, tertipu para makelar alias calo dalam rangka mendapatkan tiket masuk stadion.
Kesal yang pertama adalah masalah ‘ruang’. Mengapa stadion yang jelas-jelas dibangun atas cita-cita kebesaran nama bangsa, meski kini telah menjadi tua umurnya seakan-akan telah dicuri jiwanya oleh sang ’orang tua tiri’ yakni politisi yang hidup sebagai parasit dalam kepengurusan PSSI? Kini hanyalah artefak “Gelora Bung Karno” simbol kemegahan bangsa yang kini bergeming, tak berdaya ketika norma-etika-moral terciderai manakala rakyat sendiri demi mendukung wakil bangsanya bertanding harus membayar tarif tiket jauh diatas rata-rata masih ditambah proses seleksi fisik (alias mengantri berdiri). Inikah zaman baru Indonesia yang sedang bersiap-siap menjadi tuan rumah piala dunia? Zaman global dan maya yang dapat meminimalisir pertemuan ruang fisik seakan terabaikan entah kenapa. Ribuan rakyat yang seharusnya dapat membeli tiket cukup melalui internet seakan-akan dipaksa bertartaruh fisik hingga 24jam, beradu himpit sepanjang ribuan meter untuk ditukar dengan tontonan pertandingan 2x45’.
Kesal yang lain adalah masalah ‘momentum’. Bagaimana pun politik selalu mengincar momentum tanpa sadar akan masalah utama yang menjadi kepentingan khalayak. Disiplin Tim Nas seakan tergelincir dalam jebakan duniawi dan akhirat. Promosi politik kaum hedonis yang dimatanya adalah harta, tahta, wanita, dan suatu yang ketara berupa lumpur yang kian merata... telah memanfaatkan momentum unggulnya Tim Nas dengan melakukan jamuan hura-hura. Kaum berkedok religius pun rupanya menawarkan ‘partisipasi’ sentuhan kuasa akhiratnya demi menuntun Tim Nas pada kemenangan. Inikah rumus yang masuk akal: {hura-hura + doa = Juara}
Malu sepertinya dapat kita pahami sebagai unsur penting yang seharusnya berfungsi memandu Tim Nas kita pada kondisi yang lebih bermartabat. Seperti kita malu jika ada penonton Indonesia yang nakal bermain laser hijau. Tentu hal ini tak akan berbeda nilainya dengan Negara tetangga,yang telah dianggap mencederai sportivitas bermain. Namun, rasa malu itu dapat menuntun penonton Indonesia untuk dapat berlaku sportif meski tim jagoannya tidak juara. Demikian pula halnya pada sportivitas para politikus hedonis yang sepertinya berusaha mencuri start kampanye, mereka telah mencuri ruang liminalitas milik khalayak sebagai momentum yang tepat untuk mengangkat pamornya dimata publik. Benar salahnya tak perlu kita khawatirkan karena rakyat kita telah cerdas dalam menilai. Namun, masalahnya akibat nihilnya rasa ‘malu’ dalam diri para pejabat tersebut berdampak pada ternodanya sejarah prestasi Tim Nas yang semestinya sudah dirombak prestasinya setelah sekian lama pudar.
Lupa menjadi kebiasaan seperti urusan politik yang cepat memanas cepat pula terlupakan di negri ini. Begitu pula demam nasioalisme Garuda seakan-akan menjadi topik panas yang menggeser topik panas lain seperti regionalisme DIY yang dibingungkan atas nilai demokrasi yang seketika pula berbenturan dengan sejarah dan nilai, ruang, tata budaya didalamnya. Hal ini tentu mirip juga dengan lupanya PSSI akan suatu pembinaan prestasi yang harus kembali diawali sejak pendidikan usia dini, terlanjur diproses secara instan melalui program naturalisasi, dimana sosok yang dijadikan ujung tombak prestasi tersebut menjadi idola dan tumpuan semangat tim Garuda.
Sepatutnya kita bayangkan bila masa perjuangan kemerdekaan Indonesia hanya kita tumpukan pada seorang Naturalisasi, kemerdekaan macam apa yang sesungguhnya kita peroleh dan banggakan hingga kini?
Kicauan garuda dalam sesi pertempuran AFF Cup telah memberikan kontemplasi yang mendalam akan masalah komitmen dan perjuangan untuk menjadi bangsa yang besar. Setiap peran memiliki kontribusi yang mau tak mau mempengaruhi hasil dari harapan bersama. Dari sini kita pun belajar memaknai ‘batas-batas ruang’, yakni antara hak dan tanggungjawab pada ruang individu demikian pula hak dan tanggung jawab pada ruang publik.